Rabu, 16 Januari 2013
Dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah SAW. sedang asyik bertawaf di Ka’bah,
beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya
Karim!”
Rasulullah SAW. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu Ialu
berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah
s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!” Merasa seperti
diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang
gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu Ialu berkata:
“Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku,
karena aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan
kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah SAW. tersenyum, lalu bertanya:
“Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?” “Belum,” jawab orang itu. “Jadi
bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah
melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu
dengannya,” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah
Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!” Melihat Nabi di hadapannya, dia
tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.
“Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi SAW. Dia segera tunduk untuk
mencium kedua kaki Rasulullah SAW. Melihat hal itu, Rasulullah SAW. menarik tubuh orang
Arab itu, seraya berkata kepadanya:
“Wahal orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya
dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk
menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi
membawa berita.
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya
Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: “Katakanlah
kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa
Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik
yang kecil maupun yang besar!” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.
Maka orang Arab itu pula berkata:
“Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas
amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!” kata orang
Arab badwi itu. “Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan?” Rasulullah
bertanya kepadanya. ‘Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka
hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,’ jawab orang itu.
‘Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan
memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan
kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa
kedermawanannya!’
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah SAW. pun menangis
mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh
membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata:
“Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda:
Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari
bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa
Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya.
Allah sudah rnengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga
nanti!” Betapa sukanya orang Arab badwi itu, mendengar berita tersebut. la Ialu menangis
karena tidak berdaya menahan keharuan dirinya.
Source : Himpunan kisah-kisah teladan
Shared By Kisah Penuh Hikmah
By FB
PENDIDIKAN INTEGRAL
Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar
wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks
pendidikan nasional kita. Bahkan, Pendidikan karakter yang dipahami secara
parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi
pembentukan karakter anak didik.
Pendekatan parsial yang tidak didasari
pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam
diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.
Selama ini, jika kita berbicara tentang
pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses
penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada
ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi
pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai
kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini,
anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada
yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan
menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang
tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip
dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan
membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak
tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah
bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak
disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan
bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Menjaga keutuhan
Pendidikan karakter semestinya terarah pada
pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi
yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan
ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial
ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.
Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah
indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna
kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang
lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya
tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan
mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak,
seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme
halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah
mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah
yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran
dalam konteks pendidikan.
Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga
pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per
individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai
kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri
para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan
yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak
jujur ini.
Tiga basis
Pendidikan karakter jika ingin efektif dan
utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis
itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis
kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional
komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan
monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari
guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman
dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen
kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana
belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai
tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai
kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak
didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis
komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan
negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam
penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi
yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang
tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif
jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan
sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten,
dan tidak efektif.
BERAHLAQUL KARIMAH DAN BERBUDAYA MELALUI
PENDIDIKAN KARAKTER
Perkembangan
kehidupan yang terjadi saat ini, pelan tapi pasti menjadikan manusia seolah
terkotak-kotakkan. Perubahan ini, lambat laun mengantarkan kita pada tingginya
rasa individualitas, terkikisnya nilai-nilai moral secara perlahan serta ambisi
untuk menonjolkan keegoannya sebagai manusia berani. Semua ini menyebabkan kita
lupa bahwa sesungguhnya manusia tak dapat hidup tanpa peran orang lain.
Kondisi
ini pulalah yang saat ini menghinggapi anak didik kita. Anak didik sebagai
objek
dari
pelaksanaan pendidikan, telah mulai menunjukkan kondisi ini. Dengan dalih ingin
dikatakan sebagai manusia yang mengikuti perkembangan zaman, etika dan sopan
santunpun berani di “tabrak”. Ujung-ujungnya, anak didik mulai bertindak lebih
berani. Guru yang tidak disukaipun berani didemo.
Kebiasaan
mengemukakan pendapat yang biasanya diajarkan dalam salah satu mata pelajaran
pun, dianggap sebagai cara yang jitu untuk mengeritik gurunya. Mengeritik apa
saja yang tidak disukai ala mereka, tanpa pernah merasa bersalah atau merasa
sikapnya itu tidak benar. Nonsen katanya! Ini zaman reformasi, setiap orang
bebas mengemukakan pendapat. Itulah dalih untuk membenarkan sikapnya. Saya jadi
teringat pada sebuah syair lagu :
Kita bisa pandai menulis dan membaca karena siapa ?
Kita bisa tahu beraneka bidang ilmu dari siapa ?
Tentu kita semua sepakat dengan satu jawaban : “dari guru”.
Kita bisa pandai menulis dan membaca karena siapa ?
Kita bisa tahu beraneka bidang ilmu dari siapa ?
Tentu kita semua sepakat dengan satu jawaban : “dari guru”.
Melihat
kondisi demikian, tentu kita sangat mendukung sekali adanya upaya untuk
mengembangkan pendidikan berkarakter di sekolah-sekolah. Diharapkan dengan
pendidikan karakter anak didik yang memiliki etika akan tetap ada, sehingga
tercipta kembali generasi yang bermoral dan bertanggung jawab serta mampu
menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang berbudaya.
Doni
Koesoema (2007) mengungkapkan secara singkat, bahwa pendidikan karakter
diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dan
menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain. Pendidikan
karakter, bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Mengembangkan
pendidikan karakter di sekolah, adalah lebih diutamakan pada bagaimana
menanamkan nilai-nilai tertentu pada diri anak didik. Nilai-nilai yang
dimaksud, adalah yang berguna bagi pengembangan pribadinya sebagai makhluk
individual sekaligus sebagai makhluk sosial dalam lingkungan sekolah.
Pendidikan
karakter di sekolah secara sederhana bisa didefinisikan sebagai, “pemahaman,
perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (Practice of virtue). Olehnya itu,
pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai berupa
pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupkan nilai-nilai itu, serta
bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai
tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Para
insan pendidik seperti guru, orang tua, staf sekolah, dan masyarakat diharapkan
perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk
pedoman prilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menjadi figur keteladanan
bagi anak didik serta mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses
pertumbuhan berupa kenyamanan dan keamanan yang dapat membantu suasana
pengembangan diri individu secara keseluruhan dari segi teknis, intelektual, psikologis,
moral, sosial, estetis dan religius.
Pendidikan
karakter tidak semata-mata bersifat individual, melainkan juga memiliki dimensi
sosial struktural. Meskipun pada gilirannya kriteria penentu adalah nilai-nilai
kebebasan individual yang bersifat personal. Pendidikan karakter yang berkaitan
dengan dimensi sosial struktural, lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah
sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu. Dalam konteks inilah,
kita bisa meletakkan pendidikan moral dalam kerangka pendidikan karakter.
Pendidikan moral itu sendiri merupakan pondasi bagi sebuah pendidikan karakter.
Pendidikan
karakter, lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu. Penanaman nilai-nilai
dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai
kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga
pendidikan. Anak didik sebagai individu jika memiliki moral yang baik tentu
akan melahirkan kepribadian yang luar biasa, sikap dan perilaku yang dilakoni
dalam kehidupan sehari-hari, merupakan cermin dari kepribadian dirinya.
Berikutnya tentulah akan memunculkan anak didik yang bermoral dan berbudaya
diatas kebebasannya sebagai individu.
Terlepas
dari apa yang diuraikan di atas, semua terpulang pada guru sebagai motivator
dan penggerak di lapangan. Mampukah setiap guru menyematkan pendidikan karakter
pada anak didik?
Bagus, semoga berkah, saya menunggu cerita-cerita kearifan Mbah Bishri sebagaimana sering diceritakan Gus Dur. Bahwa Mbah Bishri kalau sakit gigi minta disuwuk Mbah Sadi, dari cerita itu betapa Mbah Bishri sangat menghormati keikhlasan Mbah Sadi, (Abu Azka)
BalasHapus